Belakangan
ini kita dikejutkan beredarnya beras plastik. Informasi tersebut memang awalnya
beredar di media sosial, tetapi kemudian juga muncul di portal berita, media
elektronik, dan media cetak. Berita beras plastik pun langsung menarik
perhatian publik dan pemerintah.
Beredarnya
beras plastik menjadi heboh setelah muncul pengakuan Dewi Septiani (29),
pedagang nasi uduk dan bubur ayam di rumah toko (ruko) GT Grande, Kota Bekasi.
Beras plastik yang dimasak tidak hancur menjadi bubur. Sedangkan beras plastik
yang dimasak menjadi nasi saat dimakan menyebabkan perut sakit. Beras tersebut
dibelinya di Pasar Mutiara Gading Timur, Kota Bekasi.
Bagi kita
setidaknya ada tiga hal yang patut dicermati terkait beredarnya beras plastik.
Pertama,
motivasi ekonomi untuk menangguk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan berbuat
curang. Dalam sistem ekonomi pasar seperti sekarang ini, sesama pedagang bisa
bersaing secara bebas. Tak jarang kecurangan dilakukan dengan cara mengoplos
beras. Perbuatan curang yang biasa dilakukan adalah mencampur beras kualitas
sedang dengan beras berkualitas rendah.
Porsi beras
berkualitas rendah tentu lebih banyak, sehingga dengan harga jual sedikit lebih
mahal, pedagang pun menangguk untung. Dengan asumsi harga beras berkualitas
rendah Rp 6.000 per kilogram, kemungkinan harga beras plastik jauh lebih murah,
sehingga bila dicampur dengan beras berkualitas sedang, laba yang diraup
pedagang pasti jauh lebih banyak.
Kedua, upaya
pengalihan isu oleh mafia beras dan mafia gula. Seperti diketahui, sejumlah
media massa beramai-ramai menyoroti keberadaan mafia beras dan gula. Sebutan
mafia beras dan gula kembali menjadi populer menyusul tekad pemerintah
menghentikan impor beras dan gula mulai tahun ini. Pemerintah pun mempersempit
ruang gerak mafia beras dan gula.
Pemberitaan
yang bertubi-tubi tentang praktik mafia beras dan gula, pasti mengusik mereka.
Pemerintah pun tak bisa lagi bermain-main memberantas praktik mafia bahan
kebutuhan pokok masyarakat.
Untuk
mengalihkan perhatian media dan publik, kasus beras plastik pun dimunculkan.
Diharapkan kasus beras plastik dan mungkin kasus-kasus lain yang diembuskan
nanti, bisa membuat mafia kembali leluasa melobi pihak-pihak tertentu agar
membuka keran impor beras dan gula. Keuntungan triliunan rupiah setiap bulan
dari impor beras dan gula tetap bisa dinikmati, sementara rakyat terpaksa
membelinya dengan harga yang semakin mahal.
Ketiga dan
yang paling menakutkan adalah langkah sistematis meracuni rakyat Indonesia. Hal
inilah yang paling mengkhawatirkan kita.
Sesungguhnya
selama ini makanan sebagian rakyat telah diracuni formalin dan bahan kimia
berbahaya lainnya. Bahan makanan dan makanan jadi yang dijual di pasar-pasar
tradisional serta di jalan-jalan di depan sekolah tak benar-benar sehat.
Masih cukup
banyak bahan makanan dan makanan “beracun” yang beredar di pasaran. Kehadiran
beras plastik menambah panjang daftar makanan “beracun” yang beredar di
pasaran. Dalam jangka pendek, makanan “beracun” dalam tubuh akan menimbulkan
berbagai gangguan penyakit. Sedangkan dalam jangka panjang, kualitas generasi
bangsa yang dicekoki makanan “beracun” pasti akan menurun dan sulit bersaing
dengan sumber daya manusia (SDM) negara-negara lain.
Kita
mengapresiasi instansi pemerintah yang bergerak cepat menangani kasus beras
plastik. Polisi, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindag)
Kota Bekasi, serta Kementerian Perdagangan, langsung turun tangan. Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga diharapkan segera terlibat untuk
memastikan sejauh mana efek negatif beras plastik bila dikonsumsi manusia.
Sejalan
dengan itu, kita mendesak Bea Cukai, yang dibantu aparat Kepolisian serta
intelijen, menelusuri asal-usul beras plastik, sekaligus mengungkap
jaringannya. Menteri Perdagangan Rachmat Gobel memastikan pihaknya tidak pernah
mengeluarkan izin mengimpor beras plastik. Dengan demikian dapat dipastikan
beras plastik yang beredar merupakan barang selundupan.
Oleh karena
itu, Bea Cukai, aparat Kepolisian, dan unsur TNI di wilayah perbatasan, harus
bisa menutup jalur penyelundupan lewat laut dan juga jalan-jalan tikus di
wilayah perbatasan, serta memperketat pemeriksaan barang di pelabuhan.
Selanjutnya, pedagang, pemasok, dan penyelundup beras plastik mesti diproses
hukum.
Kita pun
berharap masyarakat tak segan melapor ke aparat setempat bila menemukan beras
plastik dan makanan berformalin atau mengandung bahan-bahan kimia berbahaya.
Keberanian masyarakat yang ditunjang kerja cepat aparat diharapkan dapat
meminimalisasi beredarnya bahan makanan “beracun”
Gubernur
Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan motif penyebaran beras plastik kemungkinan
bukan didasari motif ekonomi. “Kelihatannya bukan motif ekonomi. Kalau jual
beras model begitu biayanya gede juga, motifnya apa? Motifnya mengacaukan
pangan saja,” kata dia di Bandung, Senin, 25 Mei 2015.
Aher, sapaan
Ahmad Heryawan, berharap masalah beras plastik bisa secepatnya tuntas. “Supaya
saat Ramadan aman, tidak ada masalah lagi,” kata dia. “Mudah-mudahan gerak
cepat. Kejadiannya juga skalanya kecil banget, enggak banyak. Karena motifnya
mungkin mengacaukan suasana saja, bukan bisnis,” ujarnya.
Aher menjelaskan beras plastik ini tidak dijual dalam skala besar karena dugaan motif tersebut. “Kalau motifnya bisnis bakal dijual di mana-mana dalam skala besar,” katanya.
Hingga saat ini, ujar Aher, di wilayahnya beras plastik hanya ditemukan di Kota Bekasi. “Polisi sudah bergerak. Ini masalah pangan, masalah sensitif, menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga segera ditangani,” kata dia. “Kami apresiasi penanganannya.”
Menurut dia, pemerintah daerah sudah melakukan langkah pengawasan untuk mengantisipasi penyebaran beras plastik. Aher mengaku sempat khawatir isu ini merebak menjelang Ramadan, yakni saat konsumsi meningkat. Kendati demikian, dia meminta masyarakat agar tidak khawatir. “Jawa Barat secara umum aman. Kejadiannya baru terdeteksi di Bekasi,” kata dia.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat Ferry Sofwan Arief mengatakan baru 12 daerah di Jawa Barat yang menuntaskan pemantauan dan pemeriksaan fisik beras yang beredar di pasar tradisional. “Yang positif hanya Kota Bekasi,” kata dia di Bandung, Senin, 25 Mei 2015.
Dua belas daerah itu adalah Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kota Sukabumi, Subang, Karawang, Sumedang, Majalengka, serta Kabupaten Tasikmalaya. Tim gabungan pemerintah daerah setempat dan provinsi sudah mengambil contoh beras yang beredar.
“Selebihnya sudah dilakukan pemantauan fisik dan pengambilan beras di lapangan, masih menunggu hasil laboratorium,” kata dia.
Ferry mengatakan Kementerian Perdagangan juga sudah meminta agar melakukan pemantauan. “Tim Kementerian juga sudah melakukan pengambilan sampel di beberapa daerah dan juga masih menunggu hasil laboratorium,” kata dia.
Ferry berujar pemeriksaan fisik dan pemantauan di lapangan itu untuk melokalisir kemungkinan penyebaran beras plastik sekaligus meredam isunya agar tidak meresahkan masyarakat. “Pantauan ini bagian untuk melokalisasi agar jangan sampai isu ini menyebar ke mana-mana, malah meresahkan,” kata dia.
Aher menjelaskan beras plastik ini tidak dijual dalam skala besar karena dugaan motif tersebut. “Kalau motifnya bisnis bakal dijual di mana-mana dalam skala besar,” katanya.
Hingga saat ini, ujar Aher, di wilayahnya beras plastik hanya ditemukan di Kota Bekasi. “Polisi sudah bergerak. Ini masalah pangan, masalah sensitif, menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga segera ditangani,” kata dia. “Kami apresiasi penanganannya.”
Menurut dia, pemerintah daerah sudah melakukan langkah pengawasan untuk mengantisipasi penyebaran beras plastik. Aher mengaku sempat khawatir isu ini merebak menjelang Ramadan, yakni saat konsumsi meningkat. Kendati demikian, dia meminta masyarakat agar tidak khawatir. “Jawa Barat secara umum aman. Kejadiannya baru terdeteksi di Bekasi,” kata dia.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat Ferry Sofwan Arief mengatakan baru 12 daerah di Jawa Barat yang menuntaskan pemantauan dan pemeriksaan fisik beras yang beredar di pasar tradisional. “Yang positif hanya Kota Bekasi,” kata dia di Bandung, Senin, 25 Mei 2015.
Dua belas daerah itu adalah Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Cirebon, Kota Sukabumi, Subang, Karawang, Sumedang, Majalengka, serta Kabupaten Tasikmalaya. Tim gabungan pemerintah daerah setempat dan provinsi sudah mengambil contoh beras yang beredar.
“Selebihnya sudah dilakukan pemantauan fisik dan pengambilan beras di lapangan, masih menunggu hasil laboratorium,” kata dia.
Ferry mengatakan Kementerian Perdagangan juga sudah meminta agar melakukan pemantauan. “Tim Kementerian juga sudah melakukan pengambilan sampel di beberapa daerah dan juga masih menunggu hasil laboratorium,” kata dia.
Ferry berujar pemeriksaan fisik dan pemantauan di lapangan itu untuk melokalisir kemungkinan penyebaran beras plastik sekaligus meredam isunya agar tidak meresahkan masyarakat. “Pantauan ini bagian untuk melokalisasi agar jangan sampai isu ini menyebar ke mana-mana, malah meresahkan,” kata dia.
Bareskrim
Polri menghentikan penyelidikan kasus beras yang sebelumnya diduga mengandung
bahan plastik, namun dinyatakan tidak terbukti dari uji laboratorium forensik.
Polisi menyatakan tidak ada dugaan sabotase pada isu beras yang ditemukan oleh
warga Bekasi, Dewi Septiani.
"Nggaklah (dugaan sabotase)," kata Kabareskrim Komjen Budi Waseso di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (27/5/2015).
Masyarakat menurut Komjen Buwas berhak curiga jika menemukan keganjilan pada barang yang dibeli. Polisi yang kemudian menindaklanjuti hasil temuan masyarakat.
"Jadi begini. Masyarakat itu berhak untuk curiga jika menemukan sesuatu barang yang bukan harapan dia. Dia bisa saja konotasi negtif. Dalam hal inilah polisi harus segera membuktikan apakah beras itu benar-benar plastik atau bukan. Berbahaya atau tidak. Mengandung kimia atau tidak," ujarnya.
Meski penyelidikan dihentikan, polisi saat ini menyelidiki kasus beras lainnya yang dioplos dengan bahan kimia.
"Ya penyelidikan (beras plastik) sudah selesai. Tapi kan kita temukan juga dugaan beras dioplos dengan bahan kimia atau pemutih dan lain-lain. Ini sedang kita tangani," tutur Komjen Buwas.
Kasus beras diduga dicampur bahan kimia sedang ditangani Polres Jakarta Selatan. Saat ini sampel beras sedang diuji di laboratorium forensik.
"Hasilnya belum keluar. Tapi sudah kita lakukan penyegelan dari tempatnya. Tinggal tergantung hasil uji laboratorium," ujarnya.
"Nggaklah (dugaan sabotase)," kata Kabareskrim Komjen Budi Waseso di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (27/5/2015).
Masyarakat menurut Komjen Buwas berhak curiga jika menemukan keganjilan pada barang yang dibeli. Polisi yang kemudian menindaklanjuti hasil temuan masyarakat.
"Jadi begini. Masyarakat itu berhak untuk curiga jika menemukan sesuatu barang yang bukan harapan dia. Dia bisa saja konotasi negtif. Dalam hal inilah polisi harus segera membuktikan apakah beras itu benar-benar plastik atau bukan. Berbahaya atau tidak. Mengandung kimia atau tidak," ujarnya.
Meski penyelidikan dihentikan, polisi saat ini menyelidiki kasus beras lainnya yang dioplos dengan bahan kimia.
"Ya penyelidikan (beras plastik) sudah selesai. Tapi kan kita temukan juga dugaan beras dioplos dengan bahan kimia atau pemutih dan lain-lain. Ini sedang kita tangani," tutur Komjen Buwas.
Kasus beras diduga dicampur bahan kimia sedang ditangani Polres Jakarta Selatan. Saat ini sampel beras sedang diuji di laboratorium forensik.
"Hasilnya belum keluar. Tapi sudah kita lakukan penyegelan dari tempatnya. Tinggal tergantung hasil uji laboratorium," ujarnya.
DASAR HUKUM UNDANG-UNDANG No. 8 Tahun 1999 :
a)
bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era
demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b)
bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi
harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan
beraneka ragam barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan
kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan
kerugian konsumen
c)
bahwa semakin
terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus
tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu,
jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar.
d)
bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha
yang bertanggung jawab.
e)
bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di
Indonesia belum memadai.
f)
bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan
perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan kesimbangan
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta
perekonomian yang sehat.
g)
bahwa untuk itu perlu dibentuk Undang-udang tentang
Perlindungan Konsumen.
UNDANG-UNDANG
No. 18 Tahun 2012 :
a.
bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling
utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen
dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
b.
Bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan,
keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan
bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan
secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang
waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
c.
Bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar dan di
sisi lain memiliki sumber daya alam dan sumber Pangan yang beragam, Indonesia
mampu memenuhi kebutuhan Pangannya secara berdaulat dan mandiri.
d.
Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan sudah
tidak sesuai lagi dengan dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal,
demokratisasi, desentralisasi, globalisasi, penegakan hukum, dan beberapa
peraturan perundang-undangan lain yang dihasilkan kemudian sehingga perlu
diganti.
e.
Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pangan. Seharusnya mentri-mentri yang mengurui proses impor ekspor barang
memeriksa barang yang masuk ke Indonesia apapun itu barangnya. Jangan sampai
terjadi keteledoran lagi apalagi yang menyangkut soal makanan yang dikonsumsi
setiap hari. Seperti contoh dari masuknya beras dari hasil olahan limbah
plastik ini yang awalnya menjadi makanan pokok sehari-hari menjadi sangat
berbahaya jika masuk kedalam tubuh. Yang mengonsumsi beras dari plastik ini
dapat mengakibatkan tumbuhnya berbagai macam penyakit salah satunya kanker,
saluran pencernaan terganggu dsb. Maka dari itu masyarakat di tuntut untuk
jelih dalam memilih barang yang akan dibeli dan dikonsumsi terutama terhadap
barang yang bukan hasil produksi atau olaha dari Indonesia dan belum terjamin
isi dari barang tersebut.
Sumber :
http://deliaekasafitri.blogspot.com/2015/05/nama-delia-eka-safitri-nim-223114017-d3.html
http://faridwajdi.info/beras-plastik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar